Latest News

Monday, 21 November 2016

KETIKA AHOK MENGANDALKAN KEKUATANNYA SENDIRI

Basuki Tjahaya Purnama, atau yang biasa disapa Ahok, adalah tokoh fenomenal dan karakteristik. Sebagai seorang Kristen, Ahok sudah mendobrak dominasi dan hegemoni islam di negeri ini. Tahun 2003 Ahok mencalonkan diri sebagai Bupati Belitung Timur, dan dia menang. Padahal wilayah Belitung Timur atau Belitung pada umumnya adalah wilayah islam. Daerah ini adalah daerah melayu, dimana melayu selalu dikonotasikan dengan islam.
Tahun 2007 Ahok maju dalam Pilkada Gubernur Bangka Belitung. Sama seperti daerah Belitung, Bangka juga merupakan daerah melayu. Sudah bisa dipastikan mayoritas pemilih adalah umat islam. Namun Ahok berani melawan hegemoni islam tersebut. Sayang, dalam pilkada ini Ahok gagal. Ada banyak pro kontra soal kekalahannya itu. Saya tak mau masuk dalam perdebatan itu.
Gagal di Bangka Belitung, Ahok mencoba peruntungan di Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 berpasangan dengan Joko Widodo. Saat itu Ahok sebagai calon Wakil Gubernur. Di Jakarta pun, jumlah pemilih islam sangat banyak. Dan karena Ahok, Jokowi pun keciprat isu sebagai orang Kristen dan keturunan China. Sangat jelas, lawan terbesar bagi pasangan Jokowi dan Ahok ini adalah islam. Namun keduanya berhasil memenangkan pertempuran itu.
Ketika maju dalam pertempuran pilkada, baik di Belitung Timur, Bangka Belitung maupun Jakarta, Ahok mendapat serangan dari umat islam. Dalam setiap pertempuran itu, umat islam selalu memakai senjata utamanya, yaitu Al Quran. Amunisi senjata ini adalah soal larangan bagi umat islam memilih orang kafir menjadi pemimpin (QS Ali Imran: 28, QS An Nisaa: 144, Al Maidah: 51 dan 57). Kekafiran itu karena Ahok adalah orang Kristen. Surah Al Maidah ayat 72 dan 73 dengan jelas mengatakan bahwa orang Kristen, karena imannya akan Yesus sebagai Allah dan iman akan Tritunggal Mahakudus, adalah kafir.
Sepertinya hanya islam yang mempunyai senjata seperti ini dalam dunia demokrasi, dimana masyarakatnya majemuk. Kemajemukan memang diakui, namun diwajibkan untuk tunduk kepada mayoritas, bukan kepada kepentingan umum.
Sekalipun mendapat serangan, Ahok tidak tinggal diam. Ahok melawan. Dia berjuang mematahkan dominasi dan hegemoni islam di negeri ini. Dasar tindakan Ahok adalah bahwa negeri ini adalah negara hukum, bukan negara agama. Di mata hukum, setiap warga, apapun suku dan agamanya, kecuali sudah dilarang oleh hukum, mempunyai hak untuk menjadi pemimpin, baik di tingkat kabupaten, provinsi, bahkan presiden. Ada banyak produk hukum yang menjamin hal tersebut.
Akan tetapi, Ahok sadar bahwa perjuangan melawan hegemoni dan dominasi islam, sekalipun didukung seperangkat undang-undang, tidaklah mudah. Patut diakui bahwa ada banyak umat islam, sekalipun sudah bergelar sarjana dan sadar akan kemajemukan bangsa Indonesia, lebih memilih kepentingan agama kelompoknya saja, yaitu islam. Mereka bukannya mendahulukan kepentingan bangsa, tetapi islam. Karena itu, mereka lebih memilih senjata Al Quran untuk melawan calon-calon pemimpin kafir.
Sadar akan kesulitan ini, Ahok tidak hanya mengandalkan senjata undang-undang, melainkan juga senjata Kristus, yaitu kasih dan bonum commune. Melawan serangan-serangan dari umat islam tersebut, Ahok membalasnya dengan kasih: �kasihilah musuhmu dan berbuat baiklah kepada orang yang mencaci kamu�, berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.� (Lukas 6: 27 � 28). Jadi, ketika dikatai kafir, Ahok diam saja. Tak pernah terdengar Ahok melawan dengan membalas cacian orang-orang itu. Ahok tetap diam. Dan dalam diamnya Ahok mendoakan mereka dan terus berbuat baik bagi siapa saja, termasuk mereka yang mencacinya.
Ahok pernah berkata, �Gue gak peduli dikatain kafir. Yang penting rakyat gue ga ditindas sama orang yang ngaku-ngaku beragama.� Ini menjadi sikap hidup Ahok. Ketika dicaci maki, Ahok tidak peduli. Tapi ketika ada orang ditindas oleh orang yang mengaku beragama, Ahok akan melawan. Sikap ini mirip seperti Yesus ketika Dia membersihkan Bait Allah (Yohanes 2: 13 � 22).
Ahok sadar akan resiko yang diambilnya, bahkan resiko terburuk sekalipun. Dia siap untuk mati demi tegaknya kebenaran, keadilan dan kesejahteraan hidup manusia (semua ini dalam bahasa kristiani dikenal dengan istilah Kerajaan Allah). Karena itu, Ahok pernah berkata bahwa jika ia mati demi Kerajaan Allah, dia minta dikuburkan di Belitung Timur dan di nisannya dituliskan �Bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan.� (Filipi 1: 21). Sungguh, Ahok tampil sebagai seorang Kristen sejati.
Namun patut disayangan apa yang terjadi di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu. Dalam kunjungan dinasnya, Ahok keselip lidah dalam pidatonya, yang akhirnya menimbulkan gelora membara. Dalam pidatonya, Ahok berkata, �Jadi, jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat al Maaidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu.� Dalam pernyataannya itu, oleh Majelis Ulama Indonesia, Ahok difatwakan telah melakukan penistaan agama dan ulama. Ahok menyatakan bahwa tidak ada niat untuk menistakan agama islam dan ulama. Ahok sudah menjelaskan maksud dari pernyataannya itu, dan penjelasan Ahok tak jauh beda dengan penjelasan beberapa tokoh islam moderat. Bahkan Nusron Wahid menegaskan bahwa tak satu pun kalimat Ahok menistakan Al Quran. Menurut Nusron Ahok justru memberikan edukasi kepada rakyat agar memilih dengan cerdas (lihat Berita Satu)
Bagaimana melihat peristiwa di Kepulauan Seribu ini? Pada peristiwa ini, saya melihat Ahok berusaha tampil dengan mengandalkan kekuatan manusiawinya. Mungkin Ahok sudah merasakan aroma kemenangan, sehingga ia sejenak menanggalkan senjata Kristus-nya. Ahok tampil sebagai manusia umumnya, yang membalas serangan orang lain. Kenapa saya kata demikian?
Ahok sudah tahu bahwa salah satu amunisi umat islam untuk menyerang dia adalah surah Al Maidah 51. Ahok tahu bahwa masih ada banyak umat islam menjadikan surah tersebut sebagai amunisi untuk menyerang calon pemimpin kafir, meski tak sedikit juga umat islam sudah tak memakai surah tersebut untuk melawan calon pemimpin kafir. Pada kesempatan itu, Ahok seakan menggunakan amunisi tersebut untuk menyerang balik lawan-lawannya.
Sepertinya Ahok langsung menyadari kesalahannya. Karena itu, pada 10 Oktober, bertepatan dengan Hari Pahlawan, Ahok menunjukkan sikap ksatria dengan meminta maaf kepada semua umat islam atau pun orang yang merasa tersinggung (tentulah maksudnya, orang yang selalu menjadikan surah Al Maidah ayat 51 sebagai amunisi untuk menyerang calon pemimpin kafir). Dalam permintaan maaf itu, Ahok sekali lagi menegaskan tidak ada maksudnya melecehkan agama islam ataupun Al Quran.
Sadar lawannya sudah lemah, umat islam semakin gencar menyerang Ahok. Mereka seakan tak puas dengan permintaan maaf Ahok, atau mungkin tidak punya tradisi memaafkan. Aksi demo, yang diwarnai dengan hojatan mewarnai serangan terhadap Ahok. Semua aksi itu dilakukan hanya untuk kepentingan umat islam semata, bukan demi kepentingan bersama, yaitu kesatuan dan keragaman bangsa Indonesia.
Menghadapi serangan ini, Ahok kembali menjadi orang Kristen. Dia tidak melawan atau membalas. Dia memilih diam. Dan dalam diam dia mendoakan mereka yang menghojat dan menyerang dirinya. Ahok tidak sendirian. Umat Kristen Indonesia juga ada bersama dia, karena jika dilihat dengan jujur, serangan yang terjadi bukan hanya kena pada diri Ahok, melainkan umat Kristen. Hojatan kafir, bukan hanya tertuju pada pribadi Ahok in se, melainan kena juga pada semua orang Kristen. Karena itu, banyak umat kristiani mendoakan para penghojat tersebut.
Selain mendoakan para penghojat, umat kristiani Indonesia, baik yang katolik maupun protestan, juga mendoakan Ahok supaya dia kuat menghadapi serangan ini. Banyak umat kristiani berharap agar Ahok bisa tampil sebagai orang Kristen untuk bisa membuka mata picik orang-orang yang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri. Patut disadari bahwa bangsa Indonesia, dengan kemajemukannya, tidak akan bisa maju jika dikendalikan orang picik yang hanya melihat persoalan dari sudut pandangnya sendiri. Untuk itulah, Ahok perlu membuka mata picik mereka.
Koba, 21 November 2016
by: adrian
Baca juga tulisan lainnya:

No comments:

Post a Comment